OH MY GIRL Fanfiction Indonesia

Since: 16/02/24

Put The Line In A Zone #1

Leave a comment

Put the line in a zone Mimi

Oh My Girl’s Mimi | Seventeen’s Joshua | OMG’s Jiho and Seunghee

Romance, Angst | G15+ | 1 of 3| 1700 words | Banaby

Aku selalu berdo’a kepada Tuhan untuk membiarkan ku jatuh cinta lagi, tapi bukan kepadanya. Aku harusnya tau batasan. Kita, hanya teman.

.

.

.

                Sepulang dari acara reunian aku dan Joshua malah asyik menyantap sundae kita dipinggir jalan seperti ini. Padahal waktu sudah menunjukan pukul 10 malam tapi aku acuh. Selama aku dengan Joshua, orang tua ku tak akan berfikir macam – macam kan?

“kau belum ingin pulang?”

Aku menggeleng sambil memasukkan sebatang sundae ke dalam mulut ku lagi.

“anak nakal”

Ujarnya sambil terkekeh kecil lalu menyeruput sekaleng lemon soda di genggamanku.

Malam ini kami membicarakan banyak hal. Dimulai dari hal – hal kuno dimasa lalu sampai impian kami. Tak lupa pembicaraan kami juga tersisip cerita tentang gadisnya. Hal yang selalu menjadi kebanggaan nya dari dulu hingga kini.

“sudah 6 tahun ya? Kau dan Jiho”

Ia tersenyum , mengangguk lalu mendangak kearah langit.

“seharusnya kau menikah saja, pasti sudah punya 3 anak”

“aku tidak akan menikah sebelum kau menikah, Mimi”

Harusnya aku tidak membawa dialog pernikahan ini. Jelas saja dia yang harusnya menikah lebih dulu. Aku bahkan belum punya laki – laki diperparah dengan kondisi dimana aku belum bisa melupakan cinta pertamaku. Enak saja dia ingin menunggu ku.

“hya! Jangan meledekku begitu! Katakan saja tidak ada lelaki yang mau dengan gadis seperti ku”

Ia hanya tertawa, padahal aku tidak sedang bercanda.

Malam itu, aku menghujaninya dengan bebatuan kecil di tanah yang kami pijak. Saling tertawa satu sama lain. Membunuh waktu. Malam itu aku tidak tau jika dalam waktu sesingkat itu aku bisa merasakan debaran jantungku yang cepat lagi.

oOo

3 unread Message(s) from Joshuaboo, Seungheeeeee

5 unreceived call(s) from Joshuaboo

                Pagi saat aku membuka handphone ku lebih cepat dari aku membuka jendela kamar untuk melihat mentari pagi. Joshua menyambutku. Bukan dengan kata – kata selamat pagi seperti yang aku harapkan. Lebih kepada pesan bodoh seperti

From : Joshuaboo

Hari ini aku tidak masuk ya. Aku sedang tidak enak badan.

                Harusnya aku tau, ia tak akan mengucapkan kata – kata manis apapun padaku. Aku tak punya hak dan ia tak punya kewajiban. Awalnya aku merasa agak khawatir dengan pesannya, tapi setelah kufikir lagi kemungkinan terbesar ia pergi dengan gadisnya. Ia bilang dalam waktu dekat Jiho akan pergi ke Eropa entah untuk apa. Mungkin ia bilang alasannya tapi aku tak punya wewenang untuk mengingatnya bukan?

Ketika niatan untuk membalas muncul, ponsel ku berdering. Monitor yang semula berisi rentetan alphabet dalam sebuah kotak kini bersilih menjadi gambar telepon dan nama si penelepon.

“o, ne Seunghee-ya”

Sapa ku cepat setelah ku sematkan benda itu diantara telinga dan anakan rambut. Ku tunggu cukup lama tapi tak ada jawaban. Hanya isakan – isakan kecil yang membuat bulu kudukku berdiri.

“w-wait. Seunghee, kau tidak apa – apa?”

Isakan nya semakin kencang dan aku kini tau ia sedang menangis. Hanya dengan mendengarnya melalui telepon aku bahkan bisa mengerti seberapa dalam luka yang membuat air matanya pecah.

“tunggu aku. Aku keatas”

“sekarang”

Sebenarnya kami tinggal di rumah sewa tingkat yang sama, ia menempati kamar 301 dilantai 3 sedangkan aku ada dilantai dasar. Seunghee tinggal sendiri karna harus meninggalkan desanya untuk kuliah di Seoul sedangkan aku, ayah ibu dan adikku tak bisa membiarkan aku hidup sendiri sehingga mereka ikut bersama ku. Aku dan Seunghee berteman sejak kami sama – sama dibesarkan di Pyongchang, tak akan ada yang dapat memisahkan persahabatan kami.

Aku berlari kecil menapaki anak tangga satu persatu. Elevator mengalami sedikit gangguan sehingga ini satu – satunya langkah yang bisa kuambil. Tanpa mengetuk aku segera membuka pintu kamar Seunghee yang berada tepat di penghujung tangga dan kudapati ia yang sedang terduduk dilantai dengan kepala yang ia sandarkan ke lemari pakaiannya. Tampak sangat menyedihkan.

“kau kenapa?”

Tanpa menjawab ia memelukku erat. Sangat erat.

“S-seunghee-ya, kita duduk di sofa saja ya. Disini dingin”

Aku bahkan tak bisa membuatnya berdiri. Ia tetap mengabaikan ku dan menangis. Kalau sudah begini aku hanya bisa bertahan disisinya, menunggu dengan sabar hingga ia bersedia menceritakan semuanya.

Segelas kopi susu hangat ada di genggaman kami berdua. Akhirnya Seunghee menurut dan duduk di atas tempat tidurnya dengan selimut yang terbalut dikaki.

“Joshua kemana?”

Aku menggeleng, bukan karna tidak tahu. Hanya saja aku sedikit malas menjadikan Joshua salah satu topik pembicaraan kami. Oh, sekedar memberitahu aku kenal Joshua berkat Seunghee. Ia bersahabat dekat dengan Joshua sejak SMA, sedangkan aku baru mengenal Joshua akhir SMA saat kami belajar bersama untuk ujian SAT dan kini kami adalah rekan kerja.

“aku merindukan Joshua”

Ia meringkuk, menekuk kakinya dan memeluknya erat.

“kau hanya perlu meneleponnya dan ia akan datang. Kenapa kau sampai merindukannya?”

Ia diam. Membenamkan wajahnya diantara tangan yang bersedekap memeluk kakinya. Untuk beberapa sekon, ruangan terasa sangat hampa.

“aku tidak tau bagaimana menghadapinya nanti, Mimi”

“aku tidak mengerti maksud mu. Memang apa yang terjadi antara kau dan Joshua? Semalam kau juga tidak datang ke acara reunian. Apa yang sebenarnya terjadi?”

Seunghee menatap keluar jendela. Memperhatikan butiran salju yang turun lambat ke bumi. Semakin lama matanya tampak berkaca – kaca. Wajahnya yang putih mulai menunjukan rona kemerahan. Ia tak akan menjawab, pikirku.

“aku jatuh cinta pada Joshua”

Sekian menit, waktu seperti berhenti berdetak. Gravitasi bumi tak lagi menarik benda, dan planet yang kita tinggali tak lagi berputar. Aku kaget.

“a-aku tau. Terlihat sangat jelas selama ini”

“dia memperlakukan ku dengan sangat baik sehingga aku tak bisa berhenti memikirkannya. Apa dia juga memperlakukan mu dengan sangat baik seperti ia memperlakukan ku?”

Aku menggeleng. Mana mungkin lelaki sepertinya bisa memperlakukan ku dengan sangat baik. Yang aku ingat ia sangat menyebalkan, sangat mudah membuatku merasa malu dan marah. Saat itu hanya Joshua bodoh yang bisa terfigur dengan baik. Aku membohongi diriku sendiri.

“kau terlihat sangat serasi dengannya. Dulu aku sempat berfikir kalian adalah sepasang kekasih. Kalian ‘kan selalu menghabiskan waktu bersama”

Aku menepuk pundaknya pelan seraya menunjukan senyumku yang paling menawan. Kalimat yang sangat jujur dariku. Aku selalu merasa mereka berdua cocok sampai saat aku tau, Joshua memiliki kekasih.

“aku benar – benar merindukan Joshua, tapi bertemu dengannya pun aku tak bisa melihat wajahnya. Apa yang harus kulakukan Mimi”

Mulut ku terkatup damai. Hanya tangan ku yang mengusap – usap kepalanya agar ia sedikit tenang. Aku paham, perasaan cinta yang dibalut dengan rasa bersalah pasti sangat menyakitkan apalagi ia menyimpan itu untuk waktu yang sangat lama, sendirian.

oOo

                Gedung dominan putih abu – abu ini adalah tempat dimana aku menghabiskan setengah hari ku untuk mencari lembaran uang. Aku yang terbilang masih baru harus lebih sering membungkukan badan dan mengucap salam. Hampir setiap menitnya. Joshua sangat benci rutinitas ini. Sebagai editor dan page designer, ia merasa tak perlu menghormati siapapun kecuali komputer dan perangkat lunak didalamnya oh juga kamera seharga belasan juta yang selalu menjuntai di lehernya. Padahal ia tak perlu memotret apapun sebagai editor.

Setelah menempelkan kartu akses dan pintu mempersilahkan ku masuk, aku berlari kecil menghampiri elevator yang sedang terbuka meski sesekali harus tetap berhenti untuk sekedar menyapa dan membungkukan badan. Beruntung teriakan ku didengar sehingga pintu lift yang nyaris tertutup kembali terbuka.

“ehem”

Aku acuh. Nafasku tersengal dan aku merasa sangat kehausan, peduli setan dengan deheman yang semakin kencang.

“kau ter-lam-bat”

Suara tepat dikupingku, membuat aku melonjak kaget. Kenapa semua kejadian hari ini membuat ku gila, sih?

Karna kaget, aku spontan menengok kearah sumber suara, kudapati laki – laki menyebalkan, berperawakan putih tinggi, memakai pakaian serba hitam dengan kamera yang menggelantungi lehernya sedang menjulurkan lidah. Aku kalah telak.

“kau bilang tidak masuk”

Ia tak langsung menjawab pun melihatku, malah menatap langit – langit elevator yang merefleksikan bayangan kami berdua. Ya, hanya ada kami berdua didalam lift ini.

“sebentar lagi akhir tahun, aku punya banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan”

Aku tau ia berbohong sejak ia melihat keatas dan mulai menyusun kalimat untuk mengelabui ku. Entah aku yang bodoh karna akan berpura – pura percaya atau dia yang membohongi aku, orang yang sudah mengenalnya sangat lama.

“kau terlihat aneh, wajahmu seperti sedang menyimpan banyak pikiran”

“cerewet. ‘Kan sudah ku bilang. Aku punya banyak kerjaan”

Ia sedang ada masalah dengan Jiho, aku berani bertaruh satu buah mesin kopi.

“ada masalah?”

Dia diam, sibuk mengutak – atik ponselnya. Karna tak juga mendapat jawaban aku pun diam jua. Lantai 14 terasa sangat jauh. Terlebih lagi sedari tadi tidak juga ada yang naik kedalam lift. Suasana agak sedikit canggung meskipun kami berdua sama – sama sibuk dengan seluler kami. Aku yang sibuk bermain Candy Crush dan ia yang entah sedang apa. Keheningan menyelimuti kami sampai suara “teng” dan pintu lift terbuka di lantai 14.

“Mimi-ya”

Aku yang berjalan pelan dibelakangnya berhenti, ia membalikan badannya dan menoleh kearahku.

“kau bawa bekal?”

Aku hanya berani mengangguk, karna terlanjur kaget. Bahkan aku tidak bertanya balik.

“nanti kau mau pulang bersamaku tidak?”

Tanya nya lagi. Aku hanya menggidikan bahu lalu berjalan kearah ruangan kami cepat karna Manajer Kim sedang memantau.

Hari ini Joshua terlihat sangat aneh, benar – benar tak seperti biasanya. Tiba – tiba ia bernyanyi lalu bermain – main kecil dimeja kerjaku, setelah itu ia memanggil namaku berkali – kali tanpa alasan yang jelas seperti

“Mimi-ya”

“Oh Mimi”

Bahkan menyenandungkan namaku seperti

“Mimimimimi…mi..mimimi babo mimi… mimimimimi…”

Ia terus menggangguku seperti itu sampai jam makan siang tiba. Karna ia ta membawa bekal akhirnya kita makan di kantin perusahaan. Karna kita makan lebih lambat dari biasanya jadi tak begitu banyak orang di kafetaria ini, sebagai gantinya makanan tak banyak tersisa. Ia hanya memesan bibimbap dan 2 lemon tea untuk kami berdua. Selama kami makan, tak seperti biasanya ia hanya diam. Mau mengajak berbicara pun aku takut akan menceritakan kondisi mengenaskan Seunghee saat ini. Ngomong – ngomong soal Seunghee, apa ia sudah makan siang ya?

Baru saja aku akan menelepon Seunghee, Joshua berdiri dan mengajak kembali ke kantor karna banyak yang harus ia selesaikan. Akhirnya aku tidak jadi menghubungi Seunghee dan berjalan cepat mengikuti langkahnya yang besar. Joshua diam saja, berbeda 180 derajat dengan kelakukannya saat sebelum makan siang.

Aku merasa khawatir, sangat khawatir. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Biasanya aku tak peduli tapi entah mengapa aku merasa peduli kini. Seperti kami berbagi kepedihan yang sama. Seperti aku merasakan apa yang ia rasakan. Seperti kami hidup dalam satu jiwa. Jangan menambah masalah lagi, Mimi. Kumohon. Berhentilah sebelum apa yang kau pikirkan benar – benar menjadi kenyataan. Tak ada perasaan lebih. Tidak akan ada. Benar tidak ada, kan?

1/3 Fin

To Be Continued

Dear Miracles, Don’t forget to leave your comment or like if you love this. Share would be appreciated much

Miracle, leave a comment pls^^